Oleh:
Prof. Kusmayanto Kadiman, Ph.D.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah seorang sosok jenderal TNI-AD dengan intelektualistas tinggi. Citra ini yang membuat SBY saat menjabat Menko Polhukam semasa kepresidenan GusDur senantiasa mendapat sambutan antusias dari kalangan kampus.
Kesan TNI yang keras dan bernuansa vertikal ala komando dilembutkannya melalui tampilan bersahabat dan pidato yang cerdas. Bak sebuah anomali dalam citra TNI. SBY juga sosok pembelajar. Dari guru sekaligus panutannya, Presiden dan Jenderal Besar HM Soeharto, SBY belajar bahwa pendekatan dan strategi pembangunan the trickle down effect gagal dalam memenuhi janji kemerdekaan yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Strategi mendahulukan pembangunan ekonomi yang kemudian dipercaya berdampak positif pada pemerataan ekonomi dan peningkataan kesejahteraan rakyat tidak tepat sasaran.
Ditengarainya, hanya yang kaya yang bertambah kaya, sedang kemiskinan tetap bahkan semakin menghantui. SBY sejak akhir 2004 kemudian menawarkan sebuah pendekatan baru (a new deal) yaitu strategi the trpiple tracks.
Pendekatan tiga jalur pembangunan yang digemakan oleh SBY dilakukan secara simultan agar satu kiat pembangunan tidak mendahului dua kiat lainnya. Sasaran utama the new deal ini adalah untuk menyeimbangkan sasaran dan upaya pembangunan ekonomi (pro growth) dengan dua jalur lain yaitu penciptaan lapangan kerja baru (pro job) dan mengentaskan rakyat dari kemiskinan (pro poor).
Dalam situs pribadinya, SBY menjelaskan:
Dengan triple tracks strategy ini, pembangunan ekonomi nasional dilakukan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, melalui peningkatan investasi dan perdagangan dalam dan luar negeri. Pembangunan ekonomi juga ditujukan untuk menciptakan lapangan kerja dengan memutar sektor riil, dan bersamaan dengan itu, pembangunan ekonomi di fokuskan untuk mengurangi kemiskinan melalui kebijakan revitalisasi pertanian dan pedesaan, serta program-program pro-rakyat.
Sebuah pendekatan pembangunan yang menjanjikan.
BBN: Menyandingkannya Dengan Trio Petahana Fosil
Trio fosil adalah istilah umum untuk tiga jenis sumber energi yang berasal dari proses jutaan bahkan milyaran tahun yang terjadi secara alami (fisikokimia) dalam perut bumi dimana flora dan fauna masuk kedalam perut bumi tertarik gravitasi bumi dan tertekan oleh bebatuan dan mineral dalam fenomena geologi. Fosil flora dan fauna ini lazim dikenal sebagai fosil dan menjadi sumber energi yang menjadi andalan umat manusia sejak dekade 60. Sumber energi itu kini popular kita kenal sebagai minyak bumi, gas dan batubara dan sering kali juga dituding sebagai trio petahana (incumbent). Khusus untuk keperluan transportasi, industri dan rumah tangga, minyak bumi diproses di kilang penyulingan untuk menghasilkan beragam produk dan utamanya menghasilkan bahan bakar minyak (BBM).
Pada perioda akhir dekade 60 sampai akhir dekade 90, Indonesia surplus sehingga setiap kenaikan harga minyak bumi dengan satuan USD/barrel berdampak positif terhadap perekonomian kita. Sejak RI berstatus nett-importer kondisi berbalik, kenaikan harga minyak bumi senantiasa memukul sistem perekonomian kita, mengingat belanja kita akan minyak impor telah melampaui pendapatan kita dari ekspor.
Oktober 2005 adalah kondisi tersulit bagi SBY dari perspektif BBM akibat meroketnya harga minyak mentah. Sumber energi gas tidak bisa menjadi andalan karena selain belum besar produksinya, juga akibat perjanjian perdagangan jangka panjang yang telah dibuat Pemerintah RI dalam melakukan ekspor gas, khususnya dengan China dan Singapore. Sedangkan cadangan batubara yang begitu besar belum siap menjadi alternatif pengganti BBM. Menaikkan harga BBM adalah keputusan non-populer yang dengan tegas diambil SBY. Terjadi gejolak politik namun berhasil distabilkannya.
Sambil menghadapi dinamika politik akibat keputusan tegas menaikkan harga BBM, SBY menggagas sebuah pemikiran dan inisiatif strategis, yaitu mengeksploitasi sumber energi biologi yang kemudian popular dengan istilah bioenergi. Para pembantunya di kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian dan BUMN diajak melakukan “Losari Retreat” yaitu pertemuan atau rapat terbatas yang tidak terlalu formal namun membahas isu penting dan menetapkan sederet langkah strategis.
Banyak berita tentang petermuan di Desa Grabag ini. Salah satu yang sahih adalah blog Presiden RI yang memuat berita seperti berikut:
Minggu, 2 Juli 2006, 09:07:33 WIB
Presiden SBY menjelaskan, “bahwa tadi malam (Sabtu, 1/7), saya telah membuka pertemuan dengan suasana alam yang sejuk, udara segar, dan hari ini kita lanjutkan lagi secara maraton, sampai malam, membahas bagaimana memanfaatkan bioenergi untuk kesejahteraan masyarakat di masa akan datang. Sayang kalau kita tidak memanfaatkannya,” kata SBY yang mengenakan baju olahraga berwarna kuning.
“Di Losari ini, kita khusus membahas upaya pengembangan bio energi, untuk menciptakan lapangan kerja, dan akhirnya mengurangi kemiskinan, meningkatkan suplai energi dalam negeri, mengurangi devisa, dan menggerakkan ekonomi lokal. Wilayah yang akan kita bangun adalah daerah pedesaan, daerah yang sektor pertaniannya luas. Dengan demikian tentu banyak hal dapat kita lakukan pada sentra-sentra wilayah itu,”
Pada rapat di Losari, lanjutnya, “Kita telah putuskan empat komoditas yang akan kita bangun, kita tumbuhkan dalam sebuah perkebunan yang akhirnya kita olah dan kita produksi menjadi bahan bakar nabati. Pertama adalah tebu untuk etanol, kedua singkong untuk etanol, ketiga kelapa sawit untuk biodiesel, dan terakhir jarak-pagar untuk biodiesel. Itu yang telah kita susun. Untuk itu kita berharap bisa menggunakan lahan yang tersedia, harapan kita bisa mencapai 3 – 5 juta hektar di seluruh tanah air,” tambahnya.
“Untuk mencapai keberhasilan penggunaan bahan bakar nabati ini, ada lima faktor penentu yang kita juga bahas secara mendalam. Pertama, ketersediaan lahan di seluruh tanah air. Untuk itu mengapa kita juga mengundang beberapa Gubernur, Menteri Kehutanan serta Kepala Badan Pertanahan, agar dapat dipastikan bahwa data yang ada tentang lahan kritis, lahan tidur dan lahan tandus datanya benar. Kedua, karena kita mengolah, maka kita membutuhkan mesin-mesin, pabrik-pabrik, dan saya bersyukur karena dari PT Pindad dan PT PAL tadi menyampaikan bahwa secara nasional kita memiliki kemampuan untuk itu.”
Ketiga, lanjut Presiden, infrastruktur sebahagian sudah ada, sebahagian barangkali kita bangun. “Keempat adalah pasar, jaminan bahwa produksi itu akan diserap. Dan kelima, pendanaan. Segi pendanaan ini tidak mungkin semua kita tanggung melalui APBN kita. Dan memang tidak harus begitu. Kita melakukan usaha, bisa melibatkan swasta, baik dalam maupun luar negeri, dengan kerangka kerjasama yang baik,” kata Presiden mengakhiri keterangannya.
Mengingat keempat jenis tanaman untuk menghasilkan dua jenis bahan bakar yang ditetapkan dalam Losari Retreat itu semua berasal dari sumber nabati maka kedua jenis bahan bakar: bioetanol dan biodiesel itu dipopulerkan dengan nama generik Bahan Bakar Nabati (BBN).
Kesungguhan SBY dalam mendorong pertumbuhan produksi nasional menghasilkan BBN ini kemudian ditunjukkannya dengan menerbitkan sebuah keputusan yang merupakan hak prerogative Presiden yaitu Instruksi Presiden (InPres) tentang Penyediaan dan Pemanfaatan BBN. Kebijakan SBY ini dikenal sebagai InPres nomor 1, 2006.
BBN ini sungguh merupakan sebuah niat luhur SBY dalam memenuhi janji kemerdekaan yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat dan ketahanan nasional, khususnya dari perspektif kemandirian bahan bakar cair. Penyandingan serasi BBN dengan BBM.
Tidak berhenti disitu, SBY juga telah dengan tegas menetapkan Kebijakan Bauran Energi (Energy Mix Policy) di 2006 yang menjadi panduan bagi semua pemangku kepentingan energi nasional. Ketergantungan pada trio petahana dikurangi dan dibarengi dengan mendorong pertumbuhan produksi energi dari sumber terbarukan (renewable energy) termasuk BBN serta konservasi energi melalui peningkatkan efiseinsi penggunaan energi.
Perjuangan luhur SBY menuju kemandirian bahan bakar cair BBN dan BBM dengan menerapkan strategi The Triple Tracks ini mengalami banyak kerikil dan jurang penghalang bahkan perjalanannya melalui jalanan berkelok dan terjal. Tujuan mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi, membuka banyak lapangan kerja baru dan peningkatan kesejahteraan seperti masih jauhnya panggang dari api.
Ide besar telah digagasnya dan kebijakan telah pula ditelorkannya. Namun mengapa BBN masih seperti si-kerdil jika dibandingkan dengan si-raksasa BBM? BBM masih jaya sebagai petahana.
Beberapa hal berikut masih menjadi pekerjaan rumah:
1. Komitmen alokasi anggaran (APBN dan APBD) yang mengikuti Losari Retreat, Inpres dan Kebijakan Bauran Energi.
2. Affirmative Action yang menunjukkan keberpihakan pada BBN. Dan, tidak membiarkan BBN bertanding dengan BBM mengikuti mekanisme pasar.
3. Kepemimpinan Efektif dalam mengawal implementasi strategi The Triple Tracks khususnya untuk bioenergi.
Semoga perjuangan luhur SBY ini menjadi gading warisan sang gajah.
2014 masih jauh dan jangan lupakan semboyan — Indonesia Bisa !
(kompasiana.com/kusmayantokadiman/ humasristek)