Presiden SBY menggelar kuliah kepresidenan (presidential lecture), di Istana Negara, Kamis (19/5) pagi, dengan pembicara Prof Ha-Joon Chang dari Universitas Cambridge, Inggris. (foto: abror/presidensby.info)
Prof Ha-Joon Chang adalah salah satu pengajar di Universitas Cambridge, Inggris. Ia merupakan ekonom heterodoks terkemuka dan ekonom kelembagaan yang mengkhususkan diri dalam ekonomi pembangunan. Pria kelahiran Seoul, Korea Selatan, 7 Oktober 1963 ini datang ke Inggris sebagai mahasiswa pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Politik, Universitas Cambridge pada 1986 dan mendapatkan gelar PhD tahun 1992.
23 Things They Don’t Tell You About Capitalism adalah judul buku terlawas yang pernah ditulis Ha-Joon Chang. Sepanjang karirnya, tercatat ia telah menulis 13 judul buku. Selain itu, Ha-Joon Chang pernah menjabat sebagai konsultan untuk Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan Bank Investasi Eropa, Oxfam, serta berbagai badan PBB. Ayah dua orang anak ini juga pernah aktif di Pusat Riset Ekonomi dan Kebijakan di Washington, DC.
Dalam situs pribadinya, www.hajoonchang.net disebutkan bahwa meskipun ia berkewarganegaraan Korea Selatan, namun saat ini ia tinggal di Cambridge, Inggris dengan istrinya, Hee-Jeong Kim, dan dua anak, Yuna, dan Jin-Gyu. Prof Chang, begitu sapaan akrabnya, dikenal karena pengaruh akademis penting pada ekonom Rafael Correa yang saat ini menjabat sebagai Presiden Ekuador.
Hari Kamis (19/5) pagi, Prof Chang menjadi pembicara dalam kuliah kepresidenan atau presidential lecture yang digelar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara. Tema yang diangkat adalah 'Indonesia Toward an Emerging Economy: Lessons from Korea and Beyond'. Tema ini dipilih karena sesuai dengan kondisi Indonesia yang berambisi menjadi emerging economy dalam 15-20 tahun mendatang.
Di awal paparannya, Ha-Joon Chang mengungkapkan rasa kagumnya terhadap Indonesia yang di tahun 1998 terpuruk karena krisis ekonomi, namun saat ini menjadi anggota G 20. Hal lain yang dikaguminya adalah demokrasi Indonesia yang tumbuh pesat dewasa ini.
Usai mendengarkan kuliah Prof Chang, Presiden SBY mengucapkan terima kasih dan yakin apa yang didapat dari paparan Prof Chang akan menjadi hasil positif pula bagi Indonesia. “Semoga apa yang menjadi pembahasan tadi dapat diberdayakan kepada akademisi, swasta, pelaku bidang pembangunan ekonomi nasional, hingga mencapai suatu kerangka ekonomi berkelanjutan dan berimbang,” ujar Presiden SBY.
“Itulah semangat yang kita miliki, dimiliki pula oleh perusahaan, dan ini yang dibahas ditingkat global terutama setelah resesi bebrapa tahun lalu,” jelas SBY.
INILAH.COM, Jakarta - Ekonom Universitas Cambridge Prof Ha-Joon Chang memberi kuliah kepada Presiden SBY dan jajaran menterinya mengenai bagaimana belajar dari Kore Selatan. Ekonom ini terkenal dengan tesisnya bahwa negara berkembang tak akan pernah menjadi negara industri jika mengikuti liberalisasi.
Apa persisnya yang harus dipelajari dari keberhasilan Korea Selatan menjadi negara industri? Berikut pendapat Ha-Joong Chang yang dikutip dari bukunya Bad Samaritans: The Myth Of Free Trade and The Secret History of Capitalism.
Tahun 1961, delapan tahun setelah perang saudara dengan Korea Utara, pendapatan per kapita Korea Selatan US$82, kurang dari setengahnya dibandingkan dengan pendapatan tahunan orang Ghana di Afrika, US$179.
Betapa miskinnya orang Korea Selatan saat itu. Warganya pun tak memiliki etos kerja untuk maju. Kala itu istilah "jam karet" (ternyata istilah ini bukan dari Indonesia) dipakai untuk menggambarkan betapa warga Korea Selatan tak menghargai waktu.
Ekonomi Korea Selatan saat itu disebut sebagai sumur tampa dasar yang hanya mengandalkan ekspor ikan dan komoditas pertanian lainnya.
Samsung tak lebih dari sebuah perusahaan ekspor sayur dan buah. Bahkan hingga tahun 1970, Samsung hanya mengekspor tekstil dan gula rafinasi.
Lalu tibalah masa dimana Presiden Park Chung-Hee, -- seorang jenderal yang naik ke tampuk kekuasaan dengan kudeta tapi segera bertransformasi menjadi sipil -- menacarkan program industrialisasi. Park memulainya dengan membangun program ambisius industri berat dan kimia pada 1973.
Pabrik baja pertama dan galangan kapal moder dibangun, dan mobil desain lokal diluncurkan. Indusrtri elektronika dan mesin diluncurkan.
Begitu ketatnya Park menjalankan kebijakan industrinya, sampai-samapi dia melarang penggunaan devisa sepeser pun untuk membeli bahan makan, katankalnya cokelat. Semua devisa dipakai untuk membeli mesin-mesindan alat produksi.
Orang Korea Selatan berdasarkan kesaksian Prof Ha-Joon Chan tak bisa merasakan enaknya cokelat, kecuali diberikanoleh tentara Amerika.
Pajak impor barang mewah diberlakukan supertinggi. Barang mewah itu termasuk kue-kue kering buatan luar negeri. Tidak itu saja, Kunjungan keluar negeri juga dilarang ketat tentu saja karena dinilai buang-buang devisa.
Kini, 41 tahun sejak program ambisius itu Korea selatan telah menjadi negara industri dan negara yang paling maju dalam inovasi industrinya.
Sekarang pertanyaanya adalah apakah kunci sukses Korea selatan? Prof Ha-Joon Chan dengan tegas menjawab, "gabungan secara cerdik antara insentif pasar dan campur tangan pemerintah.
Pemerintah Korea Selatan, sambung Ha-Joon Chang, tak menaklukkan pasar sebagaimana negara komunis tapi juga tak meliki keyakinanbuta terhadap liberalisme.
Korea Selatan mengambil jalan "murtad" dari ajaran liberalisme, dan karena dia memilih jalannya snediri itu negara ini justru maju.
Meneurut Ha-Joon Chan, pasar bebas harus dikoreksi denganintervensi pemerintah dan itulah yang dilakukan juga oleh semua negara industri saat ini sebelum mereka menerima pasar bebas secara penuh.
Toyota tak akan menjadi produsen otomotif nomor satu dunia jika pemerintah Jepang, lewat bank sentralnya, tak memberi subsidi kredit.
Nah, apakah Indonesia yang oleh Presiden SBY dalam sambutan pembukaannya pada 'presidential lecture' (Kamis, 19/5), mengatakan dengan tegas tak menganut neoliberalisme bisa mengambil jalan Korea Selatan?
Guru Besar Ekonomi Universitas Cambridge Prof. Ha-Joon Chang. memberikan kuliah dengan tema “Indonesia Toward An Emerging Economy: Lessons from Korea and Beyond".[ram]
Apa persisnya yang harus dipelajari dari keberhasilan Korea Selatan menjadi negara industri? Berikut pendapat Ha-Joong Chang yang dikutip dari bukunya Bad Samaritans: The Myth Of Free Trade and The Secret History of Capitalism.
Tahun 1961, delapan tahun setelah perang saudara dengan Korea Utara, pendapatan per kapita Korea Selatan US$82, kurang dari setengahnya dibandingkan dengan pendapatan tahunan orang Ghana di Afrika, US$179.
Betapa miskinnya orang Korea Selatan saat itu. Warganya pun tak memiliki etos kerja untuk maju. Kala itu istilah "jam karet" (ternyata istilah ini bukan dari Indonesia) dipakai untuk menggambarkan betapa warga Korea Selatan tak menghargai waktu.
Ekonomi Korea Selatan saat itu disebut sebagai sumur tampa dasar yang hanya mengandalkan ekspor ikan dan komoditas pertanian lainnya.
Samsung tak lebih dari sebuah perusahaan ekspor sayur dan buah. Bahkan hingga tahun 1970, Samsung hanya mengekspor tekstil dan gula rafinasi.
Lalu tibalah masa dimana Presiden Park Chung-Hee, -- seorang jenderal yang naik ke tampuk kekuasaan dengan kudeta tapi segera bertransformasi menjadi sipil -- menacarkan program industrialisasi. Park memulainya dengan membangun program ambisius industri berat dan kimia pada 1973.
Pabrik baja pertama dan galangan kapal moder dibangun, dan mobil desain lokal diluncurkan. Indusrtri elektronika dan mesin diluncurkan.
Begitu ketatnya Park menjalankan kebijakan industrinya, sampai-samapi dia melarang penggunaan devisa sepeser pun untuk membeli bahan makan, katankalnya cokelat. Semua devisa dipakai untuk membeli mesin-mesindan alat produksi.
Orang Korea Selatan berdasarkan kesaksian Prof Ha-Joon Chan tak bisa merasakan enaknya cokelat, kecuali diberikanoleh tentara Amerika.
Pajak impor barang mewah diberlakukan supertinggi. Barang mewah itu termasuk kue-kue kering buatan luar negeri. Tidak itu saja, Kunjungan keluar negeri juga dilarang ketat tentu saja karena dinilai buang-buang devisa.
Kini, 41 tahun sejak program ambisius itu Korea selatan telah menjadi negara industri dan negara yang paling maju dalam inovasi industrinya.
Sekarang pertanyaanya adalah apakah kunci sukses Korea selatan? Prof Ha-Joon Chan dengan tegas menjawab, "gabungan secara cerdik antara insentif pasar dan campur tangan pemerintah.
Pemerintah Korea Selatan, sambung Ha-Joon Chang, tak menaklukkan pasar sebagaimana negara komunis tapi juga tak meliki keyakinanbuta terhadap liberalisme.
Korea Selatan mengambil jalan "murtad" dari ajaran liberalisme, dan karena dia memilih jalannya snediri itu negara ini justru maju.
Meneurut Ha-Joon Chan, pasar bebas harus dikoreksi denganintervensi pemerintah dan itulah yang dilakukan juga oleh semua negara industri saat ini sebelum mereka menerima pasar bebas secara penuh.
Toyota tak akan menjadi produsen otomotif nomor satu dunia jika pemerintah Jepang, lewat bank sentralnya, tak memberi subsidi kredit.
Nah, apakah Indonesia yang oleh Presiden SBY dalam sambutan pembukaannya pada 'presidential lecture' (Kamis, 19/5), mengatakan dengan tegas tak menganut neoliberalisme bisa mengambil jalan Korea Selatan?
Guru Besar Ekonomi Universitas Cambridge Prof. Ha-Joon Chang. memberikan kuliah dengan tema “Indonesia Toward An Emerging Economy: Lessons from Korea and Beyond".[ram]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar