Kamis, 24 Februari 2011

PERANAN IMTAQ DAN IPTEK DALAM MEMBANGUN PERADABAN INDONESIA MADANI

Pekanbaru, 15 Januari 2011
Disampaikan pada acara Kajian membaca Ayat-ayat Kauniyah,
Mejelis Pengurus Wilayah ICMI Orwil Riau

Bismillaahirrrahmaanirrahiim

Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

"Innallaha la yughayyiru maa biqawmin, hattaa yughayyiruu maa bi anfusihim”, ”Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu kaum,sampai kaum itu merubahnya sendiri” (Qs.Ar-Ra’du:11)

Segala puja dan puji bagi Allah SWT Yang Maha Mengetahui segala rahasia kehidupan, Yang Maha Mengatur lakon kehidupan yang dipentaskan oleh hamba-hamba-Nya di Bumi yang dihamparkan-Nya, Yang Maha Mencerahkan kalbu manusia, sehingga mereka menjadi khalifah dan hamba-Nya yang saleh, Yang Memutar roda perputaran bumi dan zaman, kebangkitan dan kehancuran bangsa, serta mengantarkan kecemerlangan peradaban manusia atau menghancurkannya. Salawat dan salam semoga selalu tercurah untuk Baginda Rasulullah SAW, yang melalui ajarannya muncul manusia-manusia langka pilihan yang menjadi aktor pembangunan umat manusia.

1. PENDAHULUAN: KETERPADUAN AYAT KAULIYAH DAN KAUNIYAH
Para ilmuwan Muslim memimpikan pupusnya dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu empiris. Sebab, tradisi Eropa yang telah memisahkan sains dari agama—yang sebelumnya padu di tangan saintis Muslim di Abad Pertengahan—adalah alasan utama untuk itu.
Setelah empirisme yang dimulai oleh Roger Bacon dan Robert Grosseteste dari Oxford menjadi ikon kuat di Eropa pada awal abad ke-12 kemudian menjadi lebih populer di tangan Francis Bacon melalui karyanya yang terkenal Novum Organum dan New Atlantis—yang tidak lain diilhami tradisi ilmiah Islam—, maka genderang revolusi ilmiah dan spesialisasi ilmu menjadi trend ilmiah. Setelah itu yang terjadi adalah pemisahan antara ilmu-ilmu alam—yang berbasis metode eksperimental—dengan filsafat alam, yang berbasis metode rasional-spekulatif. Dinding-dinding antar disiplin ilmu pun makin tinggi dibangun, yang baru kemudian runtuh di abad moderen ini, dengan berfusinya beberapa disiplin ilmu untuk membentuk disiplin baru. Bersama pengalaman pahit inkuisisi agamawan Eropa atas ilmuwan di abad tengah, maka ketegangan dan keterpisahan ilmu dan agama semakin jauh.

Dua medan pertentangan ilmu-agama yang layak dicatat adalah masalah penciptaan dalam evolusi Darwin dan dalam kosmologi—khususnya teori Steady State Universe (Keith Wilks, 1982). Dengan evolusi biologisnya Darwin secara tidak langsung menolak penciptaan manusia sempurna melalui Adam dan Hawa. Sementara teori “jagad raya ajeg”—yang dipelopori Bondi, Gold dan Hoyle—berhipotesis bahwa ruang sebesar Stadion Utama Senayan di alam semesta mampu menciptakan satu inti atom hidrogen setiap 100 tahun. Alam kekal, karena ruang berkemampuan menciptakan materi dan galaksi, bukan sebab-sebab metafisis lainnya (Baca: Tuhan Yang Mahakuasa, Allah SWT). Bahkan fisika secara umum, bergerak hanya pada penjelasan-penjelasan material dan menolak penjelasan metafisis, yang dikokohkan dengan hukum “kekekalan materi”.
Artinya, secara substansial antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu empiris memang berbeda, dan sulit disatukan. Secara ontologis obyek kajian ilmu-ilmu agama adalah risalah kenabian (ayat kauliyah), sedang ilmu-ilmu empiris adalah manusia dan alam (ayat kauniyah). Secara epistemologis, basis ilmu-ilmu agama adalah metode tekstual, sementara untuk ilmu eksakta adalah metode rasional-eksperimental. Hanya keyakinan bahwa sumber ilmu itu satu—baik ayat kauliyah maupun ayat kauniyah—yang datangnya dari Allah SWT dan mesti berujung pada pencerahan dan pengamalan sebagai bukti prilaku hamba yang saleh (baca: ibadah), maka ilmu agama dan ilmu empiris mesti dipandang sebagai suatu yang padu, tanpa pertentangan dan dikotomi.
Persoalan ini sebenarnya cukup klasik. Teori “kebenaran ganda”, yang digaungkan Siger Brabant—tokoh Averoisme latin—yang dianggap berasal dari Ibnu Rusyd, menyatakan bahwa kesimpulan-kesimpulan akal budi murni dapat berbenturan dengan kebenaran wahyu (W. Montgomery Watt,1995). Namun menurutnya, kedua kebenaran itu harus diterima. Al Ghazali dalam Tahafut al Falasifah atau Al Qardhawi dalam Al Qur’an dan As-sunnah Referensi Tertinggi Ummat Islam secara tegas menolak teori kebenaran ganda semacam itu. Kebenaran wahyu yang datangnya dari Allah SWT adalah kebenaran mutlak dan tertinggi, yang mengatasi kebenaran kognitif yang relatif.
Dengan latar belakang ini, dapat difahami harapan agar ilmuwan Muslim dapat menguasai dan menjelaskan ilmu yang mereka kuasai dalam perspektif Islam, sehingga tidak terjadi split personality.
Kajian membaca ayat-ayat Kauniyah, Mejelis Pengurus Wilayah ICMI Orwil Riau, memiliki spirit yang serupa. Saya menangkap kesan, bahwa forum ini akan berusaha membaca ulang ilmu-ilmu empiris (ayat-ayat kauniyah) dalam sinar keimanan, sehingga tidak terjadi pertentangan dalam pemahaman kaum Muslimin atas hakekat ilmu, bahkan yang terjadi adalah sinergi dan daya dorong positif agama atas ilmu di satu sisi (bayan), dan penjelasan empiris ilmu atas pernyataan wahyu di sisi lain (burhan).


2. PERADABAN INDONESIA MADANI

2.1 Konteks Indonesia

Masyarakat Madani secara teoritis didefinisikan sebagai masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada: nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan bergotong royong menjaga kedaulatan negara.

Secara operasional dalam konteks Indonesia, pengertian genuin di atas perlu dipadukan dengan fakta kondisional masyarakat Indonesia di masa kini yang terikat dalam ukhuwah Islamiyyah (ikatan keislaman), ukhuwah wathaniyyah (ikatan kebangsaan), dan ukhuwah basyariyyah (ikatan kemanusiaan) dalam bingkai NKRI. Pluralitas etnik dan ideologis masyarakat Indonesia yang mengisi wilayah beribu pulau dan beratus suku yang membentang dari Sabang hingga Merauke—yang melebihi panjang dari pantai barat sampai pantai timur Benua Amerika—adalah sebuah realita kebhinekaan yang nyata dan obyektif. Indonesia sebagai zamrud khatulistiwa, sebagai benua maritim, paru-paru dunia, dengan biodiversitas yang berlimpah, sumber daya alam di darat maupun di laut, secara geografis dan demografis memperlihatkan fakta empiris kekayaan alam di samping pluralitas kekayaan budaya.
Karenanya masyarakat madani yang kita citakan secara visional adalah sebangun dengan “Indonesia Baru” yang kita inginkan sebagai sebuah kondisi ideal normatif yang menjadi harapan masyarakat, bangsa dan negara. Arah pembangunan Indonesia yang kita citakan adalah terbentuknya masyarakat yang menjadikan nilai-nilai tauhid sebagai landasan tata kehidupan mereka. Di dalamnya terisi dengan individu-individu yang bebas dari sikap menzalimi diri sendiri. Berkumpul dalam keluarga yang egaliter yang menjadi basis internalisasi dan ideologisasi nilai-nilai kebaikan dan keimanan. Di antara kaum laki-laki dan perempuan terikat dalam relasi yang proporsional saling melengkapi dalam rangka merealisasikan “amanah” penciptaan manusia. Hak-hak masyarakat terdistribusi secara proporsional hingga terbangun kesederajatan sosial dan kehidupan yang tenteram dan dinamis menuju terbentuknya masyarakat madani. Manusia Indonesia hidup dalam tatanan kekuasaan yang demokratis, berjalan dalam koridor hukum dan agama, dan rakyat memperoleh hak-hak politiknya secara penuh. Di sana tegak persamaan hak di hadapan hukum bagi setiap orang dengan prosedur dan mekanisme yudisial yang berkeadilan. Mereka berusaha dalam sistem ekonomi egaliter, sebagai cermin dari ekonomi yang berkeadilan, yang memungkinkan perilaku ekonomi yang adil dan memberikan akses yang sama pada seluruh rakyat sehingga kekayaan tidak menumpuk hanya pada segelintir orang yang memicu jurang kesenjangan. Dimana pemanfaatan dan pengendalian ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) secara etis sebagai modal dasar pembangunan peradaban untuk kesejahteraan manusia Indonesia dan kemandirian bangsa. Warna-warni kehidupan mencerminkan pluralitas kebudayaan sebagai entitas yang berinteraksi secara harmonis menuju kemajuan peradaban. Individu dan masyarakat mendapat pendidikan yang integratif untuk membangun manusia yang mampu merealisasikan “amanah” penciptaannya menuju kehidupan sejahtera dan kemajuan bangsa.
Itulah masyarakat yang relijius, yang seluruh komponennya bekerja sama dalam kebaikan, tolong-menolong dalam mensejahterakan masyarakat dan meningkatkan keimanan. Masyarakat yang adil dan makmur, yang melindungi warganya, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut menjaga ketertiban dunia. Suatu masyarakat dan bangsa yang hidup berdampingan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, masyarakat dengan budaya takwa. Indonesia yang kita citakan adalah kondisi masyarakat yang hidup penuh dengan kasih-sayang, yang muda menghormati yang tua, yang tua menghargai yang muda, laki-laki bahu membahu dengan perempuan, dalam pluralitas kebudayaan. Sebuah taman sari kehidupan kolektif kita, yang bermuara pada terjaminnya manusia dalam memenuhi 5 (lima) kebutuhan primer hidupnya (maqosid syariah), yakni perlindungan atas: agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Masyarakat adil, makmur, sejahtera dan bermartabat.

2.2 Strategi Transformasi
Strategi transformasi bangsa bagi terwujudnya peradaban madani yang dicitakan di atas perlu dilakukan dalam kombinasi dua aras antara perubahan yang bersifat bottom-up dengan top-down: yakni melalui pendekatan kultural dan pendekatan struktural. Pendekatan kultural dilakukan oleh individu maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan, yayasan/ormas dan berbagai lembaga/organisasi lainnya, melaksanakan pelayanan, penyuluhan dan perbaikan masyarakat secara bottom-up melalui pembangunan di berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, budaya, lingkungan hidup, kependudukan, kewanitaan, pengentasan kemiskinan, dan lain sebagainya. Pendekatan struktural dilakukan oleh negara secara komprehensif dalam lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif dan sektor-sektor lain melalui mekanisme konstitusional dengan cara membangun sistem, merumuskan kebijakan publik, regulasi dan perundangan yang secara struktural dan top-down digunakan sebagai pedoman dalam rangka transformasi masyarakat menuju peradaban madani. Gerakan struktural ini sekaligus berpartisipasi dalam implementasi dan pengawasan pembangunan bangsa. Kalau pendekatan kultural adalah “politik garam” (perlahan, bertahap dan tak terlihat namun terasa asin), maka pendekatan struktural adalah “politik cabai” (eksplisit, legal, imperatif dan tegas).
Dalam era partisipatif dan demokratis sekarang ini tidak relevan lagi mendikotomikan kedua pendekatan di atas. Pendekatan kultural dan pendekatan struktural sama-sama penting dan wajib dilakukan. Kombinasi dan sinergi kedua pendekatan ini akan mempercepat laju transformasi bangsa menuju peradaban masyarakat madani yang kita citakan.
Mencermati strategi transformasi bangsa di atas, maka ada urgensi, kestrategisan dan pentingnya peran Imtaq dan Iptek dalam membangun peradaban Indonesia Madani.

3. PERANAN IMTAQ DAN IPTEK

3.1 Peran Imtaq
Dimana peran Imtaq dalam pembangunan peradaban Indonesia Madani? Maka jawabnya sangat jelas pada “jantung” peradaban itu sendiri. Alasannya sederhana, karena Indonesia Madani adalah masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan bergotong royong menjaga kedaulatan negara. Kalau kita karakterisasi lebih lanjut, maka pertama, unsur manusia menjadi obyek dan subyek. Kedua, ruh dari peradaban madani adalah relijiusitas-keimanan. Ketiga, tujuannya adalah kesejahteraan, keadilan, martabat dll. adalah nilai-nilai luhur yang merupakan diferensiasi dari nilai keimanan. Dengan demikian domain peradaban madani ekuivalen dengan domain Imtaq sendiri, karenanya peran Imtaq menjadi urgen, strategis dan dominan dalam pembangunan peradaban Indonesia Madani.
Pertama, karena membangun peradaban madani ini bertumpu pada manusia sebagai obyek sekaligus subyek (aktor), maka pembangunan manusia ini perlu dijalankan secara terpadu antara sisi brain (aqliyah), mind (qolbiyah), dan body (jasadiyah). Pada titik inilah pentingan Imtaq-spiritualitas-relijiusitas. Membangun kecerdasan manusia Indonesia, kesalehan sosial, dan kemajuan budaya menuju peradaban madani atau dalam bahasa yang lebih operasional, menghapus kebodohan, kekerasan sosial, dan keterbelakangan budaya”, sebab kita memandang kebodohan (rendahnya kualitas pendidikan), kekerasan (hilangnya kesantunan dan kedamaian dalam menyelesaikan segala bentuk konflik), serta keterbelakangan (kemandegan dan kejumudan) sebagai musuh sosial bangsa memerlukan kecerdasan bukan hanya dari sisi intelektual/rasional (IQ), namun juga mencakup sisi emosional (EQ) dan spiritual (SQ), agar sempurnalah sosok manusia Indonesia yang kita citakan (insan kamil). Sisi emosional dan spiritual perlu mendapat perhatian yang memadai dalam proses pembangunan manusia Indonesia ke depan. Manusia yang cerdas paripurna itu akan lebih mampu menanggung beban dan menghadapi segenap cobaan hidup (adeversity quotient/AQ) dalam menggerakkan roda dan sebagai subyek pembangunan bangsa.
Manusia yang seimbang antara sisi intelektual, emosional dan spiritual itu sangat menyadari posisi dirinya dan tujuan yang akan dicapainya. Mereka tidak akan mudah mengalami krisis identitas sebagaimana terlihat pada sebagian warga di sekelilingnya, sehingga mereka dapat berperan sebagai unsur pengubah lingkungan dan pengarah masyarakat untuk menuju masyarakat madani. Mereka juga menyadari betul agenda reformasi yang harus diperjuangkan, dan sejalan dengan cita-cita kemerdekaan yang telah diproklamsikan sejak lama. Mereka tak mudah goyah dan larut dalam perubahan zaman, bahkan menjadi pilar penjaga nilai-nilai perjuangan dan membuat arus baru yang akan menyelamatkan masyarakat dari kebobrokan dan kehancuran sosial.
Kedua, ruh dari peradaban madani adalah keimanan. Manusia yang cerdas tidak hanya memikirkan kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri, tetapi memikirkan kepentingan dan keselamatan masyarakat umum. Mereka melawan egoisme dan individualisme, lalu bersungguh-sungguh menumbuhkan semangat kolektif dan solidaritas sosial tanpa pamrih. Bagi insan kamil sebagai subyek masyarakat madani, kesalehan bukan hanya semata bermakna ketaatan menjalankan ritual agama dan ketentuan hukum, melainkan juga mengobarkan spirit agama yang membebaskan dan substansi hukum yang menjunjung keadilan dan kebenaran. Kesalehan (ascetism) berpangkal dari iman (faith) dan taqwa (pious), yang akhirnya melahirkan tindakan nyata yang bermanfaat bagi orang banyak. Karenanya menjadi jelas bila Imtaq-spiritualitas-relijiusitas menjadi strategis dalam pembangunan peradaban Indonesia madani.
Aktor pembangunan masyarakat madani ialah mereka yang paling besar kontribusinya kepada masyarakat dan mengimplementasikan ketaatannya kepada Sang Khalik dengan berbuat kebajikan serta melayani semua makhluk. Kesalehan pribadi yang berakumulasi menjadi kesalehan publik akan membentuk lingkungan yang positif untuk berkembangnya seluruh potensi kemanusiaan (humanity) dan kewargaan (citizenry), melalui cermin peningkatan etos kerja, sikap terbuka akan kreasi dan inovasi baru, serta menguatnya solidaritas sosial.
Ketiga, tujuan akhir dari peradaban Indonesia madani adalah kesejahteraan, keadilan, martabat dll. yang merupakan nilai-nilai luhur diferensiasi dari nilai keimanan. Manusia madani berperan untuk menanggulangi krisis identitas dan modalitas bangsa; mengubah kondisi keterbelakangan menjadi kemajuan budaya. Kemajuan personal tidak hanya bersifat fisik, namun mengembangkan nilai-nilai universal kemanusiaan, sehingga tiap warga menyadari fungsi dan peran hidupnya sebagai seorang hamba, pemimpin, dan pembangun peradaban baru berbasis nilai-nilai keimanan. Kemajuan kolektif juga tak hanya bersifat fisik dan material, melainkan tumbuh suburnya nilai dan pranata keimanan, serta semakin menipisnya nilai dan pranata keburukan dan kemungkaran. Kemajuan budaya bagi suatu bangsa berarti bangsa ini menyadari kembali jati dirinya yang telah lama tererosi.
Jati diri itu antara lain sebagai bangsa pejuang yang membenci segala bentuk penindasan, bangsa yang mandiri dan menolak segala format ketergantungan, serta bangsa yang terbuka terhadap perubahan dan menolak eksklusifisme atau fanatisme sempit. Bangsa yang maju tak selalu berarti meninggalkan nilai-nilai relijius, tradisional dan lokal, sepanjang itu masih mencerminkan substansi kebaikan dan kebenaran universal. Namun, bangsa yang mau adalah bangsa, yang mampu memadukan nilai-nilai modern yang lebih baik dengan warisan tradisional yang sesuai tuntutan zaman, yang berbasis keimanan.
Dengan demikian peran Imtaq menjadi urgen, strategis dan dominan dalam seluruh bangunan peradaban Indonesia Madani. Imtaq menjadi ruh dan spirit peradaban Indonesia madani, yang menyiadakan basis epos, etos dan elan vital dinamika transformasi bangsa menuju keunggulan.

3.2 Peran Iptek
Sekarang, dimana peran Iptek dalam pembangunan peradaban Indonesia Madani? Perlukah sebuah rekonstruksi Iptek seperti di masa keemasan Islam?
Mungkin sulit kita mengulang prestasi itu. George Sarton dalam Introduction: History of Science mewakili setiap setengah abad dengan satu tokoh ilmuwan. Setelah abad Yunani dan China, maka berturut-turut sejak tahun 750-1100 M disebut oleh Sarton sebagai abad Jabir al Hayyan, Al Khawarizmi, Al Razi, Masudi, Ibnu Wafa, Ibnu Sina, Al Biruni, Ibnu al Haytsam, dan Umar Khayam. Baru sejak tahun 1100 M muncul nama-nama Eropa seperti Roger Bacon dan Gerard de Cremona. Sampai 250 tahun setelah itu, pemikiran sains masih didominasi oleh tokoh-tokoh Muslim seperti Ibnu Rusyd, Nasiruddin Al Tusi, dan Ibnu Navis.
Menurut Abdus Salam untuk maju di bidang Iptek, maka diperlukan komitmen, kemandirian, orgaware yang kuat, dan manajemen yang tangguh. Ketika Al Ma’mun (785-833M) berkuasa, komitmen itu terlihat, karenanya harus diakui gerakan keilmuan Islam menampakkan fajarnya. Al Kindi adalah tokoh rasional masa itu yang mengembangkan filsafat (falasifah) dan salah satu tokoh gerakan penerjemahan sistematik. Al Ma’mun mensponsori gerakan intelektual ini dan menghimpun para ilmuwan di istananya serta membangun perpustakaan besar Bayt Al Hikmah. Dan merupakan tokoh yang paling berpengaruh bagi kemajuan ilmu pengetahuan umat di Abad Pertengahan. Minat Al Ma’mun terhadap Astronomi, matematika dan kedokteran dapat dengan mudah difahami, karena disiplin-disiplin ilmu ini menyatu dalam kehidupan harian umat. Ia pun menerjemahkan banyak karya filsafat Plotinus dan mazhab Alexandria lainnya. Pengembangan Iptek Islam terus berlanjut. Bahkan pada masa kesultanan Buwaih—tiga abad setelah Al Ma’mun—ilmu pengetahuan umat mencapai puncaknya. Filosof dan ilmuwan Islam besar eksis pada masa ini seperti Ibnu Sina, Al Farabi, Al Biruni dlsb.
Namun, kondisi umat kini sudah berubah. Abdus Salam, peraih Nobel Bidang Fisika tahun 1979 bersama-sama Sheldon L. Glashow dan Steven Weinberg mengembangkan risetnya di Cambridge University, London University dan ICTP (International Center for Theorytical Physics) di Itali bukan di Pakistan. Al Azhar yang berumur ratusan tahun masih harus kita tunggu prestasi keilmuan kauniyahnya.
Karenanya secara normatif dan bahkan terbukti oleh sejarah, bahwa pembangunan peradaban material sangat bertumpu pada pembangunan Iptek. Iptek adalah engine for tommorow. Agar pembangunan Iptek memiliki dampak nyata bagi pembangunan peradaban, maka ia harus bersinergi dan terintegrasi serta membentuk Sistem Inovasi Nasional. Paling tidak ada 3 alasan yang menghajatkan orientasi pembangunan Iptek menuju Sistem Inovasi Nasional.
Pertama Iptek adalah hasil olah akal-budi yang mengelola ide menjadi penemuan (invention). Penemuan ini akan menemui maknanya yang utuh dalam praksis (praxis) ketika menghasilkan nilai tambah (value added) secara ekonomi-sosial-hankam. Proses value creation inilah yang kita sebut sebagai inovasi (innovation). Dengan demikian, Iptek akan bermanfaat dalam praksis kehidupan ketika ia telah tumbuh menjadi inovasi.
Kedua, Iptek adalah hasil olah akal-budi yang mengelola ide melalui suatu proses pembelajaran (learning) yang terus-menerus melintasi ruang-waktu generasi. Ide dapat merambat (menginspirasi), berkembang, dan saling menguatkan. Karenanya iklim yang kondusif bagi penumbuhsuburan ide adalah ruang yang memungkinkan bagi interaksi, sinergi, share dari ide-ide. Jaringan (network) yang membentuk sistem untuk mengelola ide menjadi inovasi adalah sebuah keniscayaan. Dengan demikian, pembangunan inovasi menuntut pendekatan sistem.
Selain itu, Iptek bukanlah sebuah sektor, seperti pertanian atau industri, tetapi serupa dengan Lingkungan Hidup, Iptek adalah bidang pembangunan yang melekat pada setiap sektor, merupakan factor sukses dari sektor-sektor tersebut. Pembangunan Iptek secara sendirian dan mandiri akan menjadi "menara gading" dan sebuah enclave. Namun tanpa Iptek, sektor-sektor lain tidak akan mampu meningkatkan produktivitas dan daya saing mereka. Secara lugas kita dapat menempatkan Iptek sebagai engine of growth dan power for competitiveness. Karenanya pembangunan Iptek dan penguatan Sistem Inovasi Nasional menuntut koordinasi dan sinergi.
Ketiga, Reformasi adalah proses yang mengokohkan demokratisasi yang berujung pada peningkatan kesadaran publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesadaran ini menghasilkan peningkatan aspirasi dan kontribusi (peran) masyarakat dalam pembangunan nasional. Karenanya pendekatan para pihak (multi stake holders) dalam mengelola pembangunan menjadi prasyarat yang makin menonjol. Dengan demikian pembangunan Iptek akan lebih diorientasikan untuk memperhatikan kebutuhan masyarakat (demand driven oriented), ketimbang mengembangkan pendekatan yang berat ke arah supply push technology (market pull).
Keempat, perkembangan global yang makin cepat, kesadaran publik yang makin tinggi, serta diferensiasi tugas komponen negara yang semakin tajam menuntut redefinisi peran Negara. Semakin maju suatu bangsa, maka peran Negara harus semakin efisien pada wilayah-wilayah strategis saja. Dengan demikian, negara akan lebih diposisikan menjadi stabilisator, fasilitator dan dinamisator.
Pelaku utama perubahan (transformasi) adalah masyarakat. Karenanya diffusion oriented yang menyebarkan hasil-hasil riset dan teknologi ke dalam masyarakat, sehingga dapat langsung dimanfaatkan untuk kepentingan daya saing industri, layanan masyarakat atau national security menjadi lebih mendapat prioritas.
Dengan demikian, kunci sukses untuk mengintegrasikan Iptek dengan peradaban masyarakat madani adalah inovasi. Kita memerlukan inovasi untuk memerangi kebodohan, kemiskinan, dan untuk memacu pertumbuhan menjadi bangsa yang terhormat, maju dan kompetitif. Sistem inovasi nasional mesti dibangun dan menjadi bagian integral dari peradaban kita. Artinya kita akan membangun bangsa inovasi (innovation nation) sebagai pilar kokoh bagi peradaban Indonesia madani.
Terkait dengan kinerja Sistem Inovasi Nasional kita, saya ingin mengungkap data dari Global Competitiveness Index (WCI), World Economic Forum (WEF). Pada tahun 2010, peringkat daya saing Indonesia meningkat dari urutan ke-54 menjadi peringkat ke-44. Dari 12 pilar yang ada dalam Global Competitiveness Index, untuk pilar Kesiapan Teknologi (technological readiness) kita menempati peringkat ke-91, berada di bawah negara-negara ASEAN, kecuali terhadap Filipina. Technological readiness adalah indikator yang mencerminkan sejauh mana industri maupun masyarkat kita, secara umum, mempunyai kesiapan untuk menyerap teknologi dalam rangka meningkatkan produktifitas industri dan kemampuan ekonomi mereka. Rendahnya aspek ini menunjukkan bahwa industri dan masyarakat kita secara umum belum banyak memanfaat teknologi, baik teknologi yang dikembangkan di dalam negeri, maupun teknologi yang didatangkan dari luar negeri. Sedang untuk pilar Inovasi, Indonesia menempati peringkat ke-36, berada di atas negara-negara ASEAN, kecuali Singapura dan Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan anak-anak bangsa dalam pengembangan inovasi sesungguhnya tidak perlu diragukan.

3.2 Kualitas Aktor Madani
Selain faktor-faktor nomatif di atas, untuk mewujudkan pembangunan peradaban Indonesia madani, para aktornya harus memiliki kredebilitas yang cukup (credibility agent of change). Tanpa syarat kualitas ini, maka peradaban yang dicitakan tidak akan pernah terwujud apalagi membawa berkah bagi kehidupan kolektif. Tiga syarat kredibilitas itu adalah: integritas, akseptabilitas dan profesionalitas.
Pengemban perubahan peradaban Indonesia madani mesti mempunyai integritas yang tinggi, baik dalam aspek moralitas (ilahiyah), humanitas (insaniyah) maupun nasionalitas (wathoniyah), sehingga kita memiliki vision, value dan commitment yang kokoh. Kredibilitas personal ini adalah modal dasar terkait sikap dan karakter, sekaligus sebagai komitmen nilai. Integritas moral menjamin para aktor perubahan ini untuk tidak menyimpang dari garis akhlak yang diturunkan dari langit, bahwa kita tidak diciptakan selain untuk beribadah kepada-Nya. Integritas kemanusiaan membekali kita dengan budi pekerti kemanusiaan, bahwa kita adalah makhluk Tuhan yang satu, yang wajib at-taawun alal birri wa taqwa (tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan), dengan visi kemanusiaan untuk memuliakan manusia. Integritas kebangsaan membekali para aktor perubahan akan wawasan kesatuan nasionalitas-Nusantara, bahwa Indonesia terdiri dari bangsa yang satu, tanah air yang satu, dan bahasa yang satu, sehingga kita visi nasional yang kokoh untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Aktor perubahan peradaban Indonesia madani haruslah memiliki akseptabilitas yang tinggi, sehingga mereka dapat diterima dengan tulus oleh masyarakatnya. Kredibilitas sosial ini harus diraih melalui interaksi dan berdasar pada ruh kepeduliaan terhadap sesama. Kesetiakawanan sosial adalah semangat yang hidup dan tumbuh dari habituasi dalam kolektifitas, bukan sesuatu yang bisa dibuat-buat. Kualitas empati dan emotional quotion menjadi dasar bagi aktor perubahan Indonesia madani meraih simpati sosial ini.
Dan terakhir, aktor perubahan peradaban Indonesia madani haruslah memiliki profesionalitas yang tinggi, sehingga mereka dapat diterima publik berbasis merit system, berbasis kualitas kepakaran bukan koneksitas. Kredibilitas profesional ini harus dibangun aktor perubahan Indonesia madani melalui bahan dasar kompetensi-ekspertis, kemampuan manajemen, strategic thinking, dan sikap open mind.
Dalam konteks Indonesia hari ini, satu hal lagi yang harus ditambahkan, bahwa pembangunan peradaban Indonesia madani menuntut sinergitas sosial yang tinggi. Bangsa yang besar ini, dengan potensi kekayaan alam yang berlimpah, potensi kebudayaan yang mengagumkan, dengan luas teritorial yang membentang, jumlah penduduk yang besar, dengan ukuran ekonomi (economic scale) raksasa membutuhkan kolaborasi unsur-unsurnya secara optimal, agar kita tidak terjebak pada zero sum game—lost-lost solution—atau saling menyandera. The giant sleep ini harus dibangunkan lalu berdiri kokoh seperti kal bunyanun marshuus (bangunan yang kokoh), bekerja produktif ibarat kal syajarrot thoyyibah (pohon yang baik), dan solid seperti kal jasadu wahid (badan yang satu).

4. PENUTUP

Membangun peradaban Indonesia Madani memerlukan dukungan Imtaq dan Iptek. Karena sudah sangat jelas pilar utama masyarakat madani adalah SDM-manusia. Manusia yang terdiri dari darah dan daging, dapat tegak berdiri hanya dan hanya jika “ruh” ada di dalamnya. Kekuatan ruh menjelma dalam akal (rasio) dan hati (mind). Itulah mengapa Imtaq dan Iptek menjadi kepakan dua sayap, yang harus mengembang secara harmonis, sebab yang kita ingin bangun adalah peradaban yang digusung oleh manusia yang memiliki Integritas (Ilahiyah-Insaniyah-Wathoniyah), Akseptabilitas – dan Profesionalitas ”--manusia yang punya kredibilitas (intelek sekaligus relijius). Pembangunan peradaban madani bukan hanya memerlukan kecerdasan akali tetapi juga qolbi—bukan hanya rasional-intelektual, tetapi juga sarat aturan moral-spiritual. Inilah pembangunan yang bukan hanya menuai keberkahan “bumi”, tetapi jugas restu dari “langit”, amin ya rabbal ‘alamin. #
Wassalamualaikum Warrohmatullahi Wabarokatuh.

Menteri Negara Riset dan Teknologi

Suharna Surapranata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar