Rabu, 18 Juli 2012

Himpunan Mahasiswa Nanoteknologi Indonesia


Nanoteknologi untuk Bangsa

Visi

Menjadikan Mahasiswa Indonesia berkemampuan iptek yang berdaya saing secara global melalui jejaring nanoteknologi.

Misi


* Melakukan pelatihan, seminar, kerjasama di tingkat nasional maupun internasional, dan kegiatan lain yang mendukung pengembangan nanosains dan nanoteknologi di Indonesia.

* Mengoordinasi dan mengkomunikasi penelitian lintas institusi keilmuan dalam bidang nano sehingga terjadi sinergisitas untuk memajukan IPTEK yang berdaya saing melalui jejaring nano (Nano-Network).

* Melakukan studi roadmap untuk penguasaan dan implementasi nanosains dan nanoteknologi, juga untuk isu-isu strategis dalam nanosains dan nanoteknologi, dan memberi masukan/saran kepada pemegang kepentingan terkait (Nano-Strategy).
* Kajian trend penelitian nano di dunia untuk menjaga kesinambungan informasi dalam hal IPTEK nano (Nano-Trend).

* Meningkatkan sosialisasi dan membangun kesadaran akan pentingnya penguasaan nanosains dan nanoteknologi dalam skala yang lebih besar melalui diskusi dan kurikulum sekolah (Nano-Education).





Program-program

1. Membangun jaringan penelitian nano teknologi di indonesia

2. Membangun Pusat Pendidikan Nanoteknologi Indonesia

3. 10 Tahun Kedepan tiap Provinsi mempunyai SMK Nano Teknologi Indonesia

4. 18 Tahun Mendatang Indonesia Mempunyai 800 Orang Peneliti Profesional Bidang Nano Teknologi

5. Memasyarakatkan Teknologi Nano




1.1 Sub Pendahuluan

Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025, pemerintahan Indonesia telah mendefinisikan rancangan pembangunan jangka panjang (RPJP) nasional, visi, misi dan arah pembangunan nasional dari tahun 2005 hingga 2025. Visi pembangunan nasional tahun 2005-2025 adalah INDONESIA YANG MANDIRI, MAJU, ADIL DAN MAKMUR. Sebagian visi tersebut dapat ditempuh melalui 2 (dua) dari 8 (delapan) misi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan bangsa yang berdaya-saing dan mewujudkan Indonesia asri dan lestari. Untuk mewujudkan bangsa yang berdaya-saing, arah pembangunan adalah membangun sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas; memperkuat perekonomian domestik dengan orientasi dan berdaya saing global; penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi; sarana dan prasarana yang memadai; serta reformasi hukum dan birokrasi. Sedangkan arah pembangunan untuk mewujudkan Indonesia asri dan lestari, yaitu: mendayagunakan sumber daya alam yang terbarukan, mengelola sumber daya alam yang tidak terbarukan, menjaga keamanan ketersediaan energi, menjaga dan melestarikan sumber daya air, mengembangkan potensi sumber daya kelautan, meningkatkan nilai tambah atas pemanfaatan sumber daya alam tropis yang unik dan khas, memerhatikan dan mengelola keragaman jenis sumber daya alam yang ada di setiap wilayah, mitigasi bencana alam sesuai dengan kondisi geologi Indonesia, mengendalikan kerusakan dan pencemaran lingkungan, meningkatkan kapasitas pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mencintai lingkungan hidup.

Rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) tahun 2005-2009 mengarahkan peningkatan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada 6 (enam) bidang prioritas,yaitu:

pembangunan ketahanan pangan,

penciptaan dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan,

pengembangan manajemen dan teknologi transportasi,

pengembangan teknologi informasi dan komunikasi,

pengembangan teknologi pertahanan, dan

pengembangan teknologi kesehatan dan obat-obatan


11. Bidang lain yang bukan prioritas adalah teknologi air bersih, teknologi kelautan, sistem informasi spasial, mitigasi bencana, teknologi dirgantara dan antariksa, bidang politik, sosial,budaya, dan hukum dan bidang tematis lain. Ke enam bidang prioritas membutuhkan Sains Dasar dan Ilmu Sosial dan Kemanusiaan yang dikembangkan untuk:

(i) memperkuat basis keilmuan dari ke enam bidang fokus;

(ii) memperkuat dimensi sosial dan kemanusiaan dari ke enam bidang fokus dan

(iii) mempererat keterkaitan lintas-disiplin dan lintas-bidang diantara ke enam bidang fokus tersebut 12. Salah satu kategori sasaran pengembangan Sains Dasar adalah kelompok formulasi kompleksitas yang didalamnya tercakup ilmu dan teknologi nano. Riset dan perkembangan di bidang sosial dan kemanusiaan diarahkan untuk memperkaya dan memperkuat dimensi sosial dan kemanusiaan dalam pengembangan di ke enam bidang prioritas. Ilmu dan teknologi nano di Indonesia baru ditempatkan dalam kelompok Sains Dasar yang menitikberatkan pada ilmu Pemodelan Matematika, Kimia, Fisika, dan Biologi. Peranan Ilmu Sosial dan Kemanusiaan terhadap perkembangan ilmu dan teknologi nano di Indonesia belum menjadi prioritas paling tidak hingga tahun 2009.

2 Permasalahan

Beberapa permasalahan yang akan di bahas dalam tulisan ini, antara lain :
1. Bagimana strategi pengembangan ilmu dan teknologi nano di Indonesia ?.
2. Apa manfaat ilmu dan teknologi nano bagi Indonesia?.

3 Metode Penyelesaian

Metode deskriptif kualitatif melalui survei dokumen-dokumen sekunder (tulisan ilmiah, buku, laporan resmi, dan halaman website) dijadikan metode untuk mendeskripsikan secara umum ilmu dan teknologi nano dilihat dari aspek definisi, ruang lingkup dan produk komersial. Tujuannya adalah memberikan pengenalan kepada pembaca perihal ilmu dan teknologi nano. Selanjutnya, studi kasus perkembangan ilmu dan teknologi nano di Indonesia dan di Uni Eropa dideskripsikan dengan studi survei dan perbandingan dalam hal strategi berbagai institusi (pemerintah, lembaga penelitian, lembaga pendidikan, dan advokasi), dana dan topik penelitian, publikasi tulisan ilmiah, pengajuan hak paten, pendirian perusahaan “start-up”, dan sumber daya. Manfaat ilmu dan teknologi nano bagi pembangunan Indonesia akan terlihat dengan mengetahui potensi ilmu dan teknologi nano dan posisi Indonesia dibandingkan dengan negara-negara maju.

Di Indonesia

• Pemerintah
Pemerintah indonesia belum menempatkan ilmu dan teknologi nano sebagai prioritas arah pembangunan 11. Ilmu dan teknologi nano dikelompokkan sebagai ilmu dasar yang memperkuat bidang-bidang prioritas 12. Hal ini tercermin dengan mengamati kebijakan-kebijakan di Kementerian Riset dan Teknologi 28, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi 29 dan Dirjen Pendidikan Tinggi 30. Tidak diprioritaskannya ilmu dan teknologi nano di Indonesia merupakan cermin kekurangsiapan pemerintah dalam mengantisipasi perkembangan ilmu dan teknologi masa kini dan mendatang.

Kebijakan pemerintah dalam bidang ilmu dan teknologi nano masih menempatkan bidang tersebut ke dalam kerangka kebijakan yang sudah ada. Belum ada keberanian pemerintah Indonesia untuk secara khusus membuat kebijakan mendirikan pranata institusi dan program penelitian teknologi nano. Kementerian Riset dan Teknologi mendorong riset teknologi nano dengan memasukkan ilmu dan teknologi nano pada program insentif. Di tahun 2009, program insentif menitikberatkan pada penelitian terapan. Cukup jelas bahwa di tahun 2009, penelitian ilmu dasar nano belum dijadikan prioritas. Penerapan teknologi nano di Indonesia diperkirakan masih sangat rendah karena ilmu dasarnya belum kuat dan mungkin hanya segelintir ilmuwan dan lembaga yang bisa melakukan langkah aplikasi teknologi nano. Profil BPPT belum jelas menampilkan keberpihakan mereka pada teknologi nano. Melihat struktur organisasinya, tidak ada deputi, balai pengkajian dan unit pelaksana teknis khusus teknologi nano. Kebijakan Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) untuk mendukung pendidikan ilmu dan teknologi nano juga belum jelas. Dari penelusuran website DIKTI, beberapa penelitian ilmu dan teknologi nano telah didanai oleh DIKTI. Namun, program yang dikhususkan untuk pengembangan teknologi nano belum dilakukan. Integrasi ilmu dan teknologi nano ke dalam struktur pendidikan tinggi mungkin sudah dilakukan melalui berbagai program studi yang sudah ada.

• Lembaga penelitian, pendidikan tinggi dan advokasi
Organisasi dan struktural LIPI memperlihatkan bahwa penelitian ilmu dan teknologi nano masih dinaungi berbagai bidang ilmu yang sudah mapan 31. Kegiatan penelitian ilmu dan teknologi nano masih di bawah pusat penelitian fisika, kimia, metalurgi, dan biologi. Di Indonesia belum banyak lembaga publik atau privat yang fokus pada penelitian atau advokasi teknologi nano. Lembaga privat yang melakukan riset dan advokasi teknologi nano adalah Mochtar Riady Institute for Nanotechnology 32. Mereka fokus pada penelitian tentang molecular epidemilogy, proteomic, single nucleotide polymorphism, immunology, dan genomyc. Mereka bekerjasama dengan Universitas Pelita Harapan, berbagai lembaga penelitian kesehatan di Indonesia, Cina, Hongkong dan Singapur. Pada April 2005, Masyarakat Nanoteknologi Indonesia (MNI) dideklarasikan di LIPI Serpong 33. Visi MNI adalah menjadikan Indonesia berkemampuan iptek berdaya saing secara global melalui jejaring teknologi nano. Lembaga ini diharapkan menjadi forum komunikasi berbagai pihak yang tertarik atau bergerak dalam bidang sains dan teknologi nano. Melalui penelusuran website lembaga di atas, tidak mudah mencari kebijakan dan arah penelitian secara mendetail di Indonesia. LIPI dan MNI belum secara transparan menentukan arah perkembangan ilmu dan teknologi nano di Indonesia.

Pendidikan tinggi favorit di Indonesia belum membentuk program studi khusus di bidang ilmu dan teknologi nano. Mungkin mata kuliah ilmu dan teknologi nano telah diberikan pada program studi di departemen teknologi dan sains. Mengingat keterbatasan sumber daya di perguruan tinggi di Indonesia, sulit dibayangkan kemajuan transfer ilmu dan teknologi nano kepada para mahasiswa. Lembaga advokasi yang terlibat dalam ilmu dan teknologi nano belum nampak di Indonesia. Kegiatan advokasi lebih banyak dilakukan pemerintah,lembaga riset dan lembaga pendidikan melalui kegiatan seminar-seminar. Kegiatan-kegiatan penelitian dan advokasi terlihat belum tertata rapi dan jelas sehingga terkesan belum ada kepedulian yang signifikan akan resiko ilmu dan teknologi nano bagi masyarakat dan lingkungan. Penulis berpendapat, berbagai pihak di Indonesia masih mengandalkan informasi dari luar negeri menyangkut dampak dan resiko ilmu dan teknologi nano.

4.3. Manfaat ilmu dan teknologi nano bagi Indonesia
Beberapa kemajuan penting ilmu dan teknologi nano di Indonesia telah dicapai oleh beberapa ilmuwan di Indonesia. Peneliti LIPI telah membuat nano silika menggunakan teknik ball milling 34. Dengan teknik mechanical alloying, Bi2O3 nanotube dapat di sintesis untuk aplikasi penyimpanan data 34. Peneliti LIPI lainnya mampu membuat atomic force microscopy (AFM) dengan biaya yang lebih murah walaupun perlu penelitian lebih lanjut untuk optimalisasi 31. Di tahun 2005, Kementerian Negara Riset dan Teknologi melakukan suatu program yang memfokuskan pada studi trend teknologi nano dan pemetaan 3 bidang sintesis yaitu peralatan partikel nano, prototype devais-mikro (sensor MEMS untuk CO2, glukosa dalam darah,dll) dan prototype bahan pelapis 35.

Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam mineral dan hayati. Beberapa sumber daya mineral yang ada di Indonesia adalah nikel, emas, perak, mangan, besi dan tembaga 36. Minyak dan gas alam juga sumber daya alam yang memberikan devisa bagi Indonesia. Kekayaan yang sangat penting adalah keanekaragaman hayati di Indonesia. Kekayaan laut Indonesia perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah Indonesia mengingat sebagian besar wilayah Indonesia adalah perairan laut.

Sumber daya mineral, minyak dan gas alam dapat disintesis menjadi bahan nano 18. Partikel nano besi dapat digunakan untuk bahan magnetik, katalis kimia dan elektroda. Nano tembaga digunakan sebagai filter, elektroda dan pelapis. Nano nikel juga diaplikasikan untuk filter, elektroda, katalis dan pelapis. Sedangkan nano mangan digunakan sebagai elektroda, kapasitor, katalis dan pemisah. Nano perak digunakan untuk filter, elektroda, pelapis dan bahan bio medis. Minyak dan gas alam merupakan bahan baku membuat nano polimer dan kompositnya.

Sumber:

Masyarakat Nano Indonesia

Senin, 02 Juli 2012

Membangunkan Sains Indonesia



Oleh: Prof. Bambang Hidayat, Ph.D.

Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Peta hasil kemampuan akademis kita dapat ditera dari akumulasi publikasi ilmiah serta sumbangannya pada kemajuan perekonomian dan pembukaan lapangan kerja. Namun, masa hibernasi yang lama membuat banyak sektor pendidikan dan penelitian terbengkalai.

Indeks yang dicitrakan oleh metrik pertama, publikasi ilmiah, tidak dapat dihindari karena merupakan pencerminan kemampuan mengungkap rahasia alam, baik di bidang sains murni maupun terapan.

Metrik kedua merupakan ukuran komitmen kita pada pembangunan bangsa sekaligus unjuk watak pendidikan dan kemampuan lembaga penelitian, baik di lingkup perguruan tinggi maupun lembaga penelitian. Lembaga seperti ini merentang pengertian sains, teknologi, dan budaya dalam medan sosial bangsanya. Yang pertama menumbuhkan tantangan pada alur kecerdasan dan intelektualitas. Yang kedua menghadirkan daya dorong laju penciptaan intelektual, keprigelan, dan kejelian memandang kesempatan.

Kesempatan adalah peluang yang tidak pernah bermata. Oleh karena itu, kejelian kita diperlukan untuk menangkap kesempatan lewat pembaruan dan ekonomi (Rahardi Ramelan, Kompas, 1 Juni 2012).

Studi baru dari peneliti Australia memanfaatkan data Institute for Science Information (ISI) menunjukkan berita gembira: ke-10 anggota ASEAN menghasilkan makalah ilmu pengetahuan tiga kali lebih banyak selama dekade terakhir daripada dekade sebelumnya.

Menggembirakan, tetapi runutan rinci akan membuat kita berkerut dahi: 45 persen produk ilmiah ini dihasilkan Singapura, diikuti Thailand 21 persen dan Malaysia 16 persen pada lapisan kedua. Baru pada lapisan ketiga terlihat sumbangan Vietnam 6 persen, Indonesia 5 persen, dan Filipina 5 persen.

Ini jelas gambaran kurang menyenangkan dari perspektif Indonesia, apalagi ada dua hal lagi yang seharusnya menjadi cambuk bagi kita. Pertama, Thailand dan Malaysia menunjukkan peningkatan terbesar, sedangkan Indonesia dan Filipina peningkatannya terkecil.


Kedua, Vietnam sangat kuat di bidang fisika dan matematika, Singapura pada sains materi dan nanoteknologi, Thailand pada ilmu pengetahuan gizi dan makanan. Malaysia berjaya pada rekayasa dan Filipina pertanian.

Berada pada lapisan ketiga, apalagi di bawah Malaysia dan Thailand tanpa keunggulan ilmu pengetahuan, tentu tidak membanggakan. Sedikitnya ada dua argumen yang mengakibatkan unjuk kerja kita terpuruk. Pertama, riset di perguruan tinggi (PT) serta lembaga pemerintah kurang efisien-efektif. Terutama karena sistemik penyelenggaraan penelitian kurang mendukung, di samping melemahnya kemauan dan kemampuan sumber daya manusia.

Membangun asa

Ibarat komputer, elemen pembangkit sistem ilmu pengetahuan di negara kita nyaris hang dan perlu segera di-bootulang. Maka, yang harus diubah pertama kali adalah pemahaman para pemangku kepentingan akademis mengenai hakikat pendidikan tinggi.

PT adalah sasana tempat pengalihan dan pengembangan ilmu yang bisa melahirkan ilmu-ilmu baru atau terapan yang membangun. Jadi, selain sebagai tempat penyemaian kemampuan intelektual, PT adalah tempat mengkaji pemikiran. Riset yang dilakukan secara terintegrasi dengan pendidikan (pascasarjana) tentu saja merupakan cita-cita Tri Dharma PT. Pendidikan dan riset akan secara interaktif menguatkan kontribusi PT dalam menghasilkan produk sadar kebutuhan masyarakat.

Karena jumlah dana penelitian terbatas, dibutuhkan strategi pendanaan. Konsekuensinya, penetapan area dan topik riset unggulan di PT tidak hanya sah, tetapi merupakan suatu keharusan kalau hasil hendak dipertandingkan dengan sumbangannya. Maka, mekanisme pemilihan tema jelas berbeda dengan agenda riset nasional (ARN).

Jika ARN bersifat top-down, di PT mekanisme harus bersifat bottom-up, yakni mengakomodasi bakat, minat, dan tujuan khas peneliti. Hal ini penting karena seperti hasil studi di atas, setiap negara hanya mampu mencuatkan satu atau beberapa keunggulan hasil penelitian. Kaidah ”ambeg parama arta” sangat penting sebagai wawasan, bukan mendiskriminasi unggulan.

Keunggulan SDM dapat diketahui dengan cermat dari basis data yang sudah ada, seperti ISI Thomson. Penentuan kualitas dan kuantitas sumber daya alam (SDA) dapat dilakukan melalui pemetaan kekayaan nasional. Keunggulan SDA, mulai dari keanekaan hayati, kedudukan Indonesia dalam lingkup ring of fire, sampai ke panjang pesisir kita, zoonis, dan peri kebinatangan tropika, merupakan energi potensial untuk bersaing dalam kancah riset internasional.

Tentu saja kita tidak boleh menelantarkan bidang lain karena akan terjadi pengerdilan suatu bidang ilmu. Porsi 30 persen dana penelitian yang dicanangkan pemerintah untuk dikompetisikan akan masuk ke sini. Di samping itu, pemerintah memikul kewajiban luhur mencarikan dana alternatif bagi bidang-bidang langka. Perlu kepekaan sistemik memilah tema keilmuan dan rekayasa yang memberi kegunaan pada masa depan.

Unsur penentu

Penggunaan indeks ISI sebagai patokan kinerja pengembangan sains memerlukan redefinisi pengertian jurnal internasional. Hakikat penulisan ilmiah adalah peneliti memasarkan hasil risetnya. Proses ini akan dinilai berhasil jika ada ”pembeli”.

Sebuah makalah dianggap ”dibeli” jika ada yang membaca, mengutip, dan menindaklanjuti makalah tersebut. Definisi impact factor (IF) penting untuk dipahami. Sebuah jurnal dengan IF tinggi menunjukkan bahwa jurnal tersebut sering dikutip sehingga harus memiliki IF.

Baru-baru ini kolega dari Malaysia menginformasikan jika negaranya hanya mendefinisikan dua jenis publikasi, dengan IF dan tanpa IF. Hanya yang pertama yang mendapat insentif!

Baik di PT maupun lembaga penelitian ujung tombak riset adalah para senior yang sering dimanifestasikan dalam sosok guru besar atau profesor riset. Mereka adalah elite dalam masyarakat pendidikan dan penelitian yang diharapkan menjadi ujung tombak kemajuan sains.

Jadi, sistem harus ”memaksa” kelompok elite ini melaksanakan tugas luhurnya untuk publikasi riset ataupun wawasan pemikiran akademik yang bermakna. Salah satu tugas senior di PT adalah membimbing mahasiswa S-3 dan menanamkan jiwa keilmiahan. Jadi, tidak salah jika kualitas pendidikan strata S-3 hendak disejajarkan dengan kualitas global.

Di beberapa universitas, baik di dalam maupun di luar negeri (Malaysia, misalnya), publikasi internasional bukan merupakan barang asing, baik bagi promotor maupun mahasiswa S-3. Sudah semestinya hal ini merupakan cetak biru program PT.

Tidak kurang penting adalah sistem insentif dan pemberian hibah penelitian. Sistem insentif yang berasas ”bagi rata” harus diganti dengan asas meritologi dan kepentingan keilmuan. Dana penelitian yang diberikan tepat-tempo membuat peneliti memiliki kepastian awal dan akhir kerjanya. (Kompas, 29 Juni 2012/ humasristek)